Wajib Bersatu Dengan Jamaah Kaum Muslimin Dan Haram Berpecah Belah
WAJIB BERSATU DENGAN JAMA’AH KAUM MUSLIMIN DAN HARAM BERPECAH BELAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ يَقُولُ كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَسْتَنُّوْنَ بِغَيْرِ سُنَّتِيْ وَيَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ، فَمَا تَرَى إِنْ أَدْرَكَنِيْ ذَلِكَ؟ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
Dari Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu berkata, “Orang-orang (para shahabat) bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, dan aku bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kejelekan (keburukan), khawatir kejelekan tersebut menghampiriku. Aku berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya dahulu kami berada dalam kejahiliyyahan dan kejelekan (keburukan), kemudian Allâh mendatangkan kebaikan kepada kami, lalu apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya.’ Aku bertanya, ‘Apakah setelah keburukan tersebut ada kebaikan?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya, tapi di dalamnya ada asap (kekeruhan).’ Aku bertanya, ‘Apa yang kekeruhannya itu?’ Beliau menjawab, ‘Suatu kaum yang mengerjakan sunnah tidak sesuai dengan sunnahku, dan memberi petunjuk bukan dengan petunjukku. Engkau mengetahui mereka dan engkau mengingkarinya.’ Lalu aku bertanya, ‘Apakah setelah kebaikan tersebut ada keburukan?’ Beliau menjawab, ‘Ya, para da’i (penyeru) yang berada di pintu-pintu neraka Jahannam, siapa yang menjawab seruannya maka mereka akan melemparkan orang itu ke dalamnya.’ Aku bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh, terangkan ciri-ciri (sifat-sifat) mereka kepada kami.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya, (mereka adalah) suatu kaum yang kulit mereka sama dengan kulit kita (kaum kita) dan mereka berbicara dengan bahasa kita.’ Aku bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh, apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai hal itu?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Engkau harus tetap komitmen terhadap jama’ah kaum Muslimin dan imam mereka.’ Lalu aku berkata lagi, ‘Bagaimana jika tidak ada jama’ah dan imam?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Maka jauhilah/berlepaslah dari semua golongan-golongan tersebut, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai ajal kematian menjemputmu, dan engkau tetap dalam keadaan seperti itu.’”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri (no. 3606, 3607, 7084) dan Imam Muslim (no. 1847 (51)).
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah membawakan hadits ini dengan tambahan-tambahannya dan beliau nilai shahih dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2739)
KOSA KATA HADITS
أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ : Aku meminta penjelasan tentang kejelekan.
مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِيْ : Khawatir aku terjatuh ke dalamnya atau mendapati zaman tersebut.
دَخَنٌ : Yaitu dari kata اَلدُّخَانُ (asap). Maksudnya, kebaikan itu tidak murni, karena di dalamnya ada yang mencampuri dan mengeruhkannya.
تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ : Engkau melihat dari mereka apa-apa yang sesuai dengan syari’at dan apa-apa yang menyelisihinya.
دُعَاةٌ : Jamak dari دَاعٍ, artinya penyeru. Yang dimaksud yaitu yang menyeru kepada selain kebenaran.
قَذَفُوْهُ : Melemparnya. Yang dimaksud yaitu siapa yang menyepakati pendapat-pendapat mereka dan mengikuti mereka berdasarkan hawa nafsu, maka mereka mengajaknya untuk masuk ke dalam neraka.
جِلْدَتُنَا : Dari diri kita dan kaum kita . Ada yang mengatakan, “Mereka secara zhahir seperti kita dan bersama kita, tetapi di dalamnya mereka menyelisihi kita dalam perkara-perkara dan urusan-urusan mereka.” Dan kulit sesuatu yaitu apa yang tampak darinya.
جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِيْنَ : Kaum muslimin secara umum yang berpegang kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah.
إِمَامُهُمْ : Ibnu Manzhûr rahimahullah (wafat th. 711) berkata, “Imam adalah setiap orang yang diikuti oleh suatu kaum, baik mereka di atas jalan yang lurus atau mereka di atas kesesatan. Jamaknya adalah أَئِمَّة (a-immah). Imam segala sesuatu yaitu yang bertanggung jawab dan yang memperbaiki.
al-Qur’ân adalah imamnya kaum Muslimin, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah imamnya para imam, khalifah adalah imamnya rakyat, dan suatu kaum menjadi imam dalam shalat.”[1]
Yang dimaksud yaitu pemimpin mereka yang adil, yang mereka pilih dan mereka angkat.
تَعَضَّ بِأصْلِ شَجَرَةٍ : Yaitu walaupun penyingkiran itu sampai dengan menggigit akar pohon.
اَلْعَضُّ (al-‘Adhdhu) yaitu memegang dengan gigi dan menguatkannya. Yang dimaksud yaitu berlebihan dalam berlepas diri.
SYARAH HADITS
Perkataan Hudzaifah Radhiyallahu anhu :
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ
Orang-orang (para shahabat) bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, dan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan
Maksudnya kebanyakan pertanyaan para shahabat Radhiyallahu anhum tentang kebaikan, dan kebanyakan pertanyaan Hudzaifah Radhiyallahu anhu tentang keburukan. Kebaikan dan keburukan yang dimaksud dalam hadits ini yaitu istiqamahnya perkara agama ummat Islam ini dan fitnah-fitnah yang muncul di dalamnya.
Perkataan Hudzaifah Radhiyallahu anhu :
مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي
Khawatir keburukan tersebut menghampiriku.
Ini menunjukkan tingginya semangat Hudzaifah Radhiyallahu anhu dalam mengetahui keburukan, dengan sebab perkataan beliau, “khawatir ia menghampiriku,” yang jika ia tidak mengetahuinya, maka ia akan terjatuh serta tergelincir ke dalamnya. Maka ia ingin mengetahuinya untuk berhati-hati darinya dan menjauhinya. Sebagaimana lawannya, yaitu kebaikan, tidak diketahui baiknya kecuali dengan mengetahui apa-apa yang bertentangan dengannya. Seperti dikatakan,
عَرَفْتُ الشَّرَّ لَا لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ وَمَنْ لَا يَعْرِفِ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعْ فِيْهِ
Aku mengetahui keburukan bukan untuk melakukannya, tetapi untuk menjauhinya
Orang yang tidak mengetahui keburukan, maka ia akan terjatuh di dalamnya
Perkataan ini juga menunjukkan keteguhan hati Hudzaifah Radhiyallahu anhu dan kewaspadaannya. Karena jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, maka keadaan akan berubah dan muncul berbagai fitnah, sebagaimana yang telah disepakati. Perkataan ini juga menunjukkan wajibnya bertanya dan membicarakan sesuatu sebelum hal tersebut terjadi, jika dikhawatirkan orang yang berilmu akan segera wafat.
Perkataan Hudzaifah Radhiyallahu anhu :
إِنَّا كُنَّا فِيْ جَاهِلِيَّةٍ وَ شَرٍّ
Sesungguhnya dahulu kami berada dalam kejahiliyyahan dan keburukan)
al-Jahiliyyah yaitu keadaan masyarakat yang sangat buruk sebelum Islam datang, seperti kekufuran, beribadah kepada selain Allâh, saling membunuh, merampok, merampas, dan melakukan perbuatan-perbuatan keji. Semua itu disifati dengan jahiliyyah. Oleh Karena itu, kita melihat Hudzaifah Radhiyallahu anhu mengaitkan jahiliyyah dengan keburukan. Dan semua itu hilang ketika Islam datang.
Seorang Muslim bisa juga terdapat dalam dirinya sifat jahiliyyah. Seperti sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzarr Radhiyallahu anhu ,
إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيْكَ جَاهِلِيَّةٌ
Sesungguhnya dalam dirimu ada sifat jahiliyyah[2]
Sebagaimana juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَرْبَعٌ فِيْ أُمَّتِيْ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُوْنَهُنَّ : اَلْفَخْرُ فِيْ الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِيْ الْأَنْسَابِ، وَالْاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ، وَالنِّيَاحَةُ
Empat perkara dalam ummatku yang termasuk dari perkara jahiliyyah: (1) Berbangga dengan kedudukan, (2) Mencela nasab, (3) Menisbatkan hujan kepada bintang-bintang, dan (4) Niyahah[3].[4]
Empat perkara tersebut tidak membuat pelakunya menjadi kafir.
al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah (wafat th. 852 H) berkata, “Perkataan ‘dalam dirimu ada sifat jahiliyyah’ yaitu ciri-ciri jahiliyyah, padahal kedudukan iman Abu Dzarr Radhiyallahu anhu di puncak yang tinggi. Beliau Radhiyallahu anhu ditegur seperti itu karena kedudukannya yang agung di sisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagai peringatan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar Abu Dzarr Radhiyallahu anhu tidak mengulanginya. Karena walaupun beliau dimaafkan dengan suatu alasan, tetapi terjadinya hal itu yang semisal akan menjadi besar, lebih dari orang yang (kedudukannya) di bawahnya.”[5]
Adapun menyebut masyarakat Islam seluruhnya dengan sebutan jahiliyyah, maka ini adalah perkara yang tertolak dan batal. Mengapa? Karena itu membawa kepada tuduhan pengkafiran masyarakat Islam. Dan ini adalah perkara yang diingkari oleh para pemilik akal yang sehat dan diingkari juga oleh syari’at Islam yang hanif.
Perkataan Hudzaifah Radhiyallahu anhu :
فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ
Lalu apakah setelah kebaikan ini ada keburukan? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya”
Yang dimaksud adalah fitnah-fitnah yang muncul setelah berlalunya masa dua khalifah, Abu Bakar Radhiyallahua anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu , dan munculnya fitnah tersebut pada zaman ‘Utsmân Radhiyallahu anhu .
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ
Ya, tapi di dalamnya ada asap (kekeruhan)
Ibnu Hajar rahimahulllah berkata, “اَلدَّخَنُ yaitu kedengkian. Ada yang mengatakan bahwa itu kerusakan. Ada juga yang mengatakan bahwa itu rusaknya hati. Ketiga makna ini berdekatan. Ini menunjukkan bahwa kebaikan yang datang setelah kejelekan tidak bisa murni, tetapi ada kekeruhan di dalamnya. Dikatakan juga bahwa ad-dakhan yaitu setiap perkara yang dibenci.”[6]
Syaikh Salim al-Hilali berkata, “an-Nawawi[7] menukil perkataan Abu ‘Ubaid , ‘al-Baghawi berkata[8], ‘Perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Ya, tapi di dalamnya ada asap.” Yaitu kebaikan tersebut tidak murni, di dalamnya ada kekeruhan dan kegelapan. Asal ad-dakhan yaitu pada warna hewan, keruh kehitam-hitaman.”
al-‘Azhîm al-Abadi menukil[9] dari al-Qâri perkataannya, “Makna asal dari ad-dakhan yaitu kekeruhan dan warna yang kehitam-hitaman. Jadi di dalamnya terdapat pemberitahuan bahwa itu adalah kebaikan yang tercampur dengan kejelekan.”
Syaikh Salim al-Hilali menyimpulkan bahwa pengertian-pengertian tersebut menghasilkan dua perkara:
Pertama, bahwa fase tersebut bukan kebaikan yang murni, tetapi tercampur dengan kekeruhan yang mengotori jernihnya kebaikan dan menjadikan rasanya asin.
Kedua, bahwa kekeruhan ini merusak hati, menjadikannya lemah yang jika menular, maka ummat-ummat akan sakit dan diliputi oleh syubhat-syubhat…”[10] Wallahu a’lam.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
قَوْمٌ يَسْتَنُّوْنَ بِغَيْرِ سُنَّتِيْ وَيَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي
Suatu kaum yang mengerjakan sunnah tidak sesuai dengan sunnahku, dan memberi petunjuk bukan dengan petunjukku.
Banyak nash-nash syar’i yang menyuruh kaum Muslimin untuk berpegang teguh dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menyelisihinya, karena ada ancaman yang keras di dalamnya. Di antaranya firman Allâh Azza wa Jalla :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
… maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” [an-Nûr/24:63]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Firman Allâh Azza wa Jalla, ‘maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya,’ yaitu perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Itulah jalan, manhaj, metode, sunnah dan syari’at Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka setiap perkataan dan perbuatan harus ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apa yang sesuai dengannya maka diterima, dan apa yang menyelisihinya maka harus ditolak, siapa pun orangnya, sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak.[11]
Yaitu hendaklah orang yang menyelisihi syari’at Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara zhahir dan batin, berhati-hati dan takut tertimpa fitnah, yakni hati mereka terkena fitnah kekufuran, kemunafikan atau bid’ah.[12]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ
Engkau mengetahui mereka dan mengingkarinya.
Yang dimaksud yaitu para pemimpin setelahnya, di antara mereka ada yang berpegang kepada sunnah dan berlaku adil dan di antaranya ada juga yang menyeru kepada bid’ah dan berbuat zhalim.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا
Ya, para da’i (penyeru) yang ada di pintu-pintu Neraka Jahannam, siapa yang menjawab seruannya maka mereka akan melempar orang itu ke dalamnya
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Para Ulama sû’ (ulama yang menyeru kepada selain kebenaran-pent) mereka duduk di pintu Surga, menyeru manusia ke Surga dengan perkataan mereka, dan menyeru manusia ke Neraka dengan perbuatan mereka. Setiap mulut mereka berkata kepada manusia, ‘Kemarilah,’ maka berkatalah perbuatan mereka, ‘Jangan kalian mendengar mereka, jika apa yang mereka seru itu kebenaran, maka pasti mereka orang yang pertama menjawab seruan itu.’ Mereka pada gambarannya pemberi petunjuk, tetapi pada hakikatnya penyamun.”[13]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz rahimahullah berkata, “Hadits yang agung dan mulia ini menunjukkan kepadamu, wahai orang Islam, bahwa sekarang ini ada para da’i yang menyeru kepada berbagai macam kebatilan, seperti (menyeru kepada) nasionalisme arab, komunisme, dan kapitalis. Dan juga (menyeru kepada) pengumbaran nafsu, kebebasan mutlak, serta berbagai macam kerusakan. Mereka semua adalah penyeru yang ada di pintu-pintu neraka, baik mereka mengetahui atau tidak. Siapa yang menjawab seruan kebatilan mereka, maka akan dilempar ke neraka Jahannam. Tidak diragukan lagi bahwa hadits yang mulia ini termasuk dari berita kenabian dan dalil kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan hal yang akan terjadi sebelum itu terjadi, kemudian hal itu terjadi sebagaimana yang telah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritakan.”[14]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَ يَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا
(Mereka adalah) suatu kaum yang kulit mereka sama dengan kulit (kaum) kita dan mereka berbicara dengan bahasa kita.
Dalam riwayat Abul Aswad :
فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِيْ جُثْمَانِ إِنْسٍ
Di antara mereka ada orang-orang yang hatinya seperti hati setan dalam tubuh manusia.
Mereka adalah para ‘ulama sû` (ulama yang jelek) dan umara` (para penguasa) jahat yang mengajak manusia kepada kekufuran, kesyirikan, bid’ah, maksiat, dan lainnya. Mereka adalah para penguasa yang berbuat kezhaliman.
Hudzaifah Radhiyallahu anhu bertanya lagi :
كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكَنِيْ ذَلِكَ؟
Bagaimana, apa yang harus aku perbuat, wahai Rasûlullâh, apabila aku menjumpai (para penguasa) yang demikian itu?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
Tetaplah engkau mendengar dan taat kepada ulil amri (penguasa), meskipun punggungmu dipukul dan hartamu diambil, tetaplah dengar dan taat.[15]
Tentunya taat kepada ulil amri dalam hal-hal yang ma’ruf (baik). Adapun dalam perbuatan maksiat, maka tidak boleh taat kepada ulil amri, sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَطاَعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiat kepada Allâh, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan.[16]
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci kecuali jika ia disuruh untuk melakukan kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk melakukan kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat[17]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ
Engkau harus tetap komitmen terhadap jama’ah kaum muslimin.
Arti al-jamâ’ah secara bahasa yaitu اَلْاِجْتِمَاع (perkumpulan), lawan dari اَلتَّفَرُّق (bercerai-berai). Dan al-jamaa’ah adalah suatu kaum yang berkumpul dalam suatu perkara.
Secara istilah al-jamâ’ah yaitu ummat terdahulu dari kalangan shahabat dan tabi’in, dan yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari Kiamat, yang berkumpul di atas al-Qur’ân dan as-Sunnah, dan pemimpin mereka, serta yang menempuh jalan yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para shahabatnya, dan para tabi’in.
Ahlus sunnah wal jama’ah yaitu mereka yang berpegang kepada sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkumpul di atasnya. Mereka adalah para shahabat, tabi’in, para pemberi petunjuk yang mengikuti mereka, orang yang menempuh jalan mereka dalam keyakinan, perkataan, dan perbuatan sampai hari Kiamat, yang istiqamah dalam ittiba’ dan menjauhi bid’ah di setiap waktu dan tempat. Mereka tetap selamat sampai hari Kiamat.
Maka ahlus sunnah wal jamâ’ah adalah mereka yang mengikuti sunnah dan menjauhi perkara-perkara baru dan bid’ah dalam agama.
al-Jamâ’ah disini bukanlah maksudnya perkumpulan manusia secara umum, tidak juga perkumpulan sebagian besar dari mereka selama mereka tidak berkumpul dalam kebenaran. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa golongan yang selamat (ahlussunnah wal jamâ’ah) yaitu satu golongan dari tujuh puluh tiga golongan. Sebagaimana dalam hadits :
أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هٰذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ.
Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi 72 golongan. Sesungguhnya (ummat) agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi 73 golongan, 72 golongan tempatnya di neraka dan hanya satu golongan di surga, yaitu al-Jamâ’ah[18]
Dan as-salaf yaitu para shahabat, tabi’in, dan pengikut mereka dengan baik sampai hari Kiamat, yang ummat sudah bersepakat atas keadilan dan kebaikan mereka, yang mereka tidak dituduh dengan berbuat bid’ah yang mengkafirkan maupun yang membuat fasik. Dengan makna ini, mereka adalah ibarat dari kepribadian yang diakui dan manhaj yang diikuti.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan bahwa orang-orang zhalim yang keluar dari ketaatan kepada penguasa dan jama’ah muslimin. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan bahwa seseorang dari mereka jika mati, maka matinya seperti kematian jahiliyyah. Karena orang-orang jahiliyyah tidak memiliki pemimpin, tetapi setiap golongan mengalahkan yang lainnya. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan peperangan orang yang ta’ashshub (fanatik dan berperang untuk golongannya-pent) seperti orang yang berperang atas nasab-nasab, seperti Qais dan Yaman. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa siapa yang terbunuh di atas itu semua, maka bukan termasuk dari golongannya. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan peperangan orang-orang yang melampaui batas, khawarij, dan yang semisalnya, bahwa yang melakukan itu maka bukan dari golongannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[19]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : وَإِمَامَهُمْ (dan imam mereka)
Yang dimaksud imam yaitu pemimpin yang paling tinggi dalam pemerintahan Islam. al-Mawardi rahimahullah berkata, “al-Imâmah dipergunakan untuk khilâfah nubuwwah dalam menjaga agama dan mengurus dunia dengannya.” Imam al-Haramain al-Juwaini rahimahullah berkata, “Al-Imamah yaitu kepemimpinan yang sempurna, yang bergantung secara khusus maupun umum pada kepentingan-kepentingan agama dan dunia.”
Telah banyak nash-nash yang menjelaskan pentingnya adanya imam yang syar’i. Itu semua meyakinkan beberapa perkara penting yang wajib diketahui, yaitu :
- Pentingnya adanya imam dan pemimpin, serta peran mereka dalam menjalankan hidup kaum Muslimin, dunia dan akhirat.
- Haramnya keluar dari ketaatan terhadap para pemimpin dan berselisih dengan mereka dalam suatu perkara, kecuali jika sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku.
- Tidak memberikan kepemimpinan kepada orang yang memintanya dan berambisi.
- Celaan terhadap kekuasaan walaupun adanya itu penting. Dan bahwa itu (merupakan sebab) kerugian dan penyesalan jika pelakunya tidak berlaku adil.
Dari Abu Hazim, ia berkata : Aku duduk bersama Abu Hurairah Radhiyallahu anhu selama lima tahun, aku mendengar ia membawa hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِيْ، وَسَيَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ. قَالُوْا : فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ : فُوْا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ، أَعْطُوْهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Dahulu Bani Isra-il, para Nabi yang memimpin dan mengurus mereka. Setiap seorang Nabi wafat, diganti dengan Nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada Nabi setelahku, dan akan ada para khalifah yang banyak.” Para shahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” beliau menjawab, “Maka hendaklah kalian penuhi membai’at yang pertama, lalu berikan kepada mereka hak mereka. Karena Allâh akan mempertanyakan tentang kepemimpinannya.”[20]
Imam al-Barbahari rahimahullah (wafat th. 329 H) berkata, “Jika engkau melihat seseorang mendo’akan keburukan kepada pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk salah satu pengikut hawa nafsu, namun jika engkau melihat seseorang mendo’akan kebaikan kepada seorang pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk Ahlus Sunnah, insya Allâh.
Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah (wafat th. 187 H) berkata, “Jikalau aku mempunyai do’a yang baik yang akan dikabulkan, maka semuanya akan aku tujukan bagi para pemimpin.’ Ia ditanya: ‘Wahai Abu ‘Ali jelaskan maksud ucapan tersebut?’ Beliau berkata, ‘Apabila do’a itu hanya aku tujukan bagi diriku, tidak lebih hanya bermanfaat bagi diriku, namun apabila aku tujukan kepada pemimpin dan ternyata para pemimpin berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara akan merasakan manfaat dan kebaikannya.
Kita diperintahkan untuk mendo’akan kebaikan buat mereka bukan keburukan meskipun ia seorang pemimpin yang zhalim lagi jahat karena kezhaliman dan kejahatan akan kembali kepada diri mereka sendiri sementara apabila mereka baik, maka mereka dan seluruh kaum Muslimin akan merasakan manfaat dari kebaikan mereka.”[21]
al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah (wafat th. 852 H) berkata, “al-Muhallab rahimahullah berkata, ‘Tamak terhadap kekuasaan merupakan sebab manusia saling memerangi, sampai darah tertumpah, harta dan kehormatan menjadi halal, dan kerusakan di bumi menjadi besar dengan sebab itu. Penyesalannya yaitu pada akhirnya ada yang terbunuh, terasing, atau mati, maka dia baru menyesal sudah masuk ke dalam perkara tersebut. Karena ia akan dituntut pertanggungjawabannya atas apa yang dia perbuat, sementara apa yang diinginkan hilang juga.”[22]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728) berkata, “Sungguh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk taat kepada para pemimpin yang ada dan diketahui, yang mereka itu memiliki kekuasaan serta mampu untuk memimpin manusia. Bukan taat kepada orang yang tidak ada dan tidak diketahui, juga tidak kepada orang yang tidak memiliki kekuasaan serta kemampuan atas sesuatu. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berkumpul dan bersatu, melarang perpecahan dan perselisihan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mentaati para pemimpin secara mutlak, tetapi menyuruh untuk taat kepada mereka dalam ketaatan kepada Allâh, bukan dalam hal maksiat kepada-Nya. Ini menunjukkan bahwa imam-imam atau para pemimpin yang kita diperintahkan untuk taat kepada mereka dalam rangka mentaati Allâh, tidaklah ma’shum.”[23]
Jika kaum Muslimin bersatu pada imam atau pemimpinnya, maka dia tidak menyelisihinya walaupun pemimpin tersebut berbuat zhalim. Sebagaimana dalam riwayat lain,
فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
Maka dengarlah dan taatlah!
Atas dasar ini, maka boleh menghadiri shalat berjama’ah, jihad, dan haji bersama para pemimpin yang zhalim, tetapi dengan menjauhi maksiat-maksiat mereka dan tidak taat kepada mereka dalam hal tersebut.
Perkataan Hudzaifah Radhiyallahu anhu , “Bagaimana jika tidak ada jama’ah dan imam?”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ، وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
Maka menjauhlah (berlepaslah) dari semua golongan-golongan tersebut, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai ajal kematian menjemputmu, dan engkau tetap dalam keadaan seperti itu.
Ini adalah perintah untuk menyingkir (menyelamatkan diri) ketika terjadi fitnah. Perintah ini menunjukkan wajib, karena agama tidak akan selamat kecuali dengan itu. I’tizâl (menyingkir) maksudnya tidak bergabung dengan orang yang belum sempurna keimamannya. Jika ahlul halli wal wal ‘aqdi telah membai’at satu orang yang memenuhi sifat dan syarat kepemimpinan, maka kepemimpinannya sah dan haram bagi siapapun untuk menyelisihnya. Adapun jika orang-orang berselisih dan mereka membai’at dua pemimpin, sebagaimana yang terjadi pada Ibnu az-Zubair dan Marwan, maka yang pertama dibai’atlah yang paling kuat.[24]
al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Imam ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata, ‘Dalam hadits ini menunjukkan bahwa apabila tidak ada pemimpin bagi manusia, lalu manusia berpecah-belah menjadi berkelompok-kelompok, maka tidak boleh mengikuti seorang pun dalam kelompok (golongan) tersebut. Hendaknya ia meninggalkan semua kelompok (golongan) semampunya, karena khawatir akan terjatuh ke dalam keburukan (kejelekan).’”[25]
Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini (dijelaskan-red) bahwa seorang Muslim apabila menemui keadaan yang seperti ini, maka janganlah ia berkelompok/berpartai, jangan ia bergabung dengan jama’ah, kelompok, golongan (partai) selama belum terdapat jama’ah yang dipimpin dan dibai’at oleh seluruh kaum Muslimin…”[26]
Syaikh Salîm bin ‘Ied al-Hilâli berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan Hudzaifah Radhiyallahu anhu untuk berlepas diri dari semua golongan yang menyeru ke neraka Jahannam pada saat terjadinya kejelekan dan fitnah, ketika kaum Muslimin tidak memiliki jama’ah dan juga imam.
Perkataan para Ulama dalam mensyarah perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini bermacam-macam. Dan yang Allâh lapangkan dadaku kepadanya yaitu bahwa perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini di dalamnya (mengandung) wajibnya berpegang kepada kebenaran, saling menolong pelakunya, dan saling membantu di atas asas kebenaran. Penjelasannya:
Pertama, ini adalah perintah untuk berpegang kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih. Itu ditunjukkan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits al-‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu :
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِـيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Sungguh, orang yang masih hidup diantara kalian sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah Khulafâurrasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah itu sesat.”[27]
Kedua, menunjukkan bahwa perintah untuk menggigit akar pohon dalam hadits Hudzaifah, bukan zhahirnya yang dimaksud, tetapi maknanya yaitu tetap di atas kebenaran, dan berlepas diri dari semua golongan-golongan sesat yang jauh dari kebenaran.”[28]
Ketahuilah wahai Saudaraku –semoga Allâh merahmatimu-, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Maka berlepaslah dari semua golongan-golongan tersebut,’” menunjukkan bahwa golongan-golongan, kelompok-kelompok, partai-partai akan bermunculan. Dan bahwa nanti ada perselisihan yang menyebabkan perpecahan menjadi golongan-golongan, yang membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahu solusi yang sesuai untuk keadaan yang menyusahkan tersebut, yaitu, “Maka berlepaslah…”
Di antara hal penting yang wajib diketahui, bahwa pemerintahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berdiri di atas tiang penting dan agung, yaitu tauhid kepada Allâh Azza wa Jalla dan penyatuan ummat. Dua tiang ini telah Allâh kumpulkan dalam firman-Nya :
إِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
Sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka sembahlah Aku [al-Anbiyya/21:92]
Di antara hal penting yang harus kita ketahui juga bahwa golongan-golongan dan kelompok-kelompok tersebut muncul, tumbuh, dan terbentuk setelah zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Agar semua orang mengetahui bahwa zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diberkahi itu terlepas dari penyakit-penyakit yang beracun, yang menjadi sebab hancurnya ummat-ummat terdahulu.
Dan juga, bahwa perselisihan dan perpecahan pasti terjadi karena pengabaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang itu dan juga kenyataan yang ada. Maka dengan ini, apakah boleh kita condong kepada realita tersebut lalu setiap kita memilih kelompok, bergabung dengannya, dan menisbatkan diri kepadanya, dengan hujjah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang itu?
Jawabannya adalah: Tidak! Bukan itu yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pengabarannya tentang hadits iftirâq, tidak juga menunjukkan tentang hal itu. Yang dimaksud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah memberi peringatan kepada ummatnya agar tidak mengikuti jalannya orang-orang yang binasa sebelum mereka dan tidak menempuh jalan perselisihan dan perpecahan.
al-Iftirâq yaitu keluar dari sunnah dan jama’ah dalam satu pokok agama atau lebih, baik dari segi keyakinan, amalan, atau yang berkaitan dengan maslahat-maslahat yang besar untuk ummat. Dan juga keluar dari ketaatan kepada para pemimpin kaum muslimin dan jama’ah mereka dengan mengangkat pedang (memberontak kepada pemimpin kaum Muslimin).
Pelakunya yaitu golongan yang terpisah dari ahlus sunnah wal jama’ah, yaitu orang-orang yang mengangkat pedang (memberontak) dan tidak taat kepada pemimpin kaum Muslimin, para pelaku debat dan permusuhan dalam agama, ahlul kalam, para pelaku bid’ah dan perkara-perkara baru dalam agama, seperti khawarij, syi’ah, qadariyyah, murji`ah, dan selain mereka.[29]
Jadi, ummat Islam tidak boleh berkelompok-kelompok, bergolong-golongan, jama’ah-jama’ah sempalan, dan partai-partai. Tapi mereka wajib bersatu di atas aqidah dan manhaj yang benar dan menjauhkan semua bentuk kesyirikan, bid’ah, aliran, serta golongan yang telah memecah belah kaum Muslimin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Bid’ah itu dikaitkan dengan perpecahan, sebagaimana sunnah dikaitkan dengan persatuan. Maka dikatakan: Ahlus sunnah wal jama’ah (para pelaku sunnah dan persatuan), sebagaimana dikatakan: Ahlul bid’ah wal furqah (para pelaku bid’ah dan perpecahan).”[30]
Banyak ayat dalam al-Qur’ân yang menyuruh kita untuk bersatu dan melarang dari perpecahan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpegang teguhlahlah kamu semuanya pada tali (agama) Allâh, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allâh kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allâh mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allâh menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” [Ali ‘Imrân/3:103]
Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid rahimahullah, “Sesungguhnya berkelompok itu yang memiliki jalan-jalan dan acuan-acuan yang baru (yang tidak ada contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam -pent), yang tidak diketahui pada zaman salafus shalih, termasuk dari pencegah terbesar dari ilmu dan pemecah-belah persatuan. Maka berapa banyak dia telah melemahkan ikatan persatuan Islam, dan dengan sebab itu kaum Muslimin diliputi kegelapan.[31]
FAWAA-ID:
- Keutamaan para shahabat Radhiyallahu anhum, mereka selalu bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan dan keburukan.
- Para shahabat adalah orang yang paling mengetahui dan paling paham tentang agama Islam, serta paling selamat dunia dan akhirat.
- Wajib bagi kita mengikuti manhaj (cara beragama) para shahabat Radhiyallahu anhum.
- Keutamaan shahabat Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, beliau digelari dengan Shâhibus sirr, yaitu yang diberitahukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang beberapa rahasia yang tidak diketahui oleh shahabat lain.
- Hudzaifah Radhiyallahu anhu bertanya tentang fitnah-fitnah yang akan muncul setelah wafatnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sampai-sampai ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu bertanya tentang fitnah ini kepada Hudzaifah Radhiyallahu anhu .
- Wajib bertanya tentang masalah-masalah yang tidak jelas kepada orang yang berilmu.
- Sebelum datangnya Islam, manusia berada dalam kebodohan, kekufuran, kesyirikan, saling membunuh, berbuat keji, dan lainnya.
- Datangnya Islam dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa cahaya, hidayah, rahmat, kedamaian, rasa aman, serta baiknya keadaan manusia.
- Setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar Radhiyallahu anhuma wafat, terjadi fitnah-fitnah besar dengan terbunuhnya ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu , ‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu, dan ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu. Kemudian munculnya dua firqah yang sesat dan menyesatkan, yaitu khawarij dan syi’ah.
- Akan ada para pemimpin yang tidak mengikuti Sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah.
- Akan ada para pemimpin dan para penguasa yang tidak berhukum dengan hukum-hukum Islam.
- Akan ada ulil amri, pemimpin, dan para da’i/ustadz yang mengajak manusia kepada kesesatan, bid’ah, yaitu mengajak kepada pemahaman khawarij, syi’ah, tarekat shufiyyah, dan lainnya. Mereka mengajak manusia ke Neraka Jahannam.
- Meskipun pemimpin itu zhalim, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk mentaati mereka dalam hal yang ma’ruf dan tidak boleh memberontak kepada ulil amri (penguasa).
- Tidak boleh taat kepada pemimpin dalam berbuat maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla .
- Adanya jama’ah kaum Muslimin dan pemimpinnya (ulil amri) meskipun jahat atau zhalim lebih baik dari pada tidak ada pemimpin.
- Peringatan dari berpecah belah dan ancaman bagi pelakunya. Dan nash-nash telah menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah keluar dari jama’ah kaum Muslimin.
- Perintah untuk bersatu dan keselamatan bagi pelakunya. Dan nash-nash telah menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah bersatu dengan jama’ah kaum Muslimin.
- Bila tidak ada jama’ah kaum Muslimin dan tidak ada imamnya, maka wajib menyingkir serta menjauhkan diri dari berbagai macam kelompok, golongan, aliran, dan partai, agar tidak jatuh dalam keburukan.
- Wajib berpegang teguh kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah menurut pemahaman salafus shalih, karena hal ini merupakan jalan selamat dunia dan akhirat.
- Tidak ada golongan, kelompok, atau partai dalam Islam, yang ada adalah jama’ah dan khalifah (pemimpin).
- Dakwah salaf mengajak ummat kepada tauhid dan persatuan kaum Muslimin.
Wallahu a’lam.
MARAAJI’:
- Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq Sami Salamah, cet. Daar Thaybah.
- Kutubussittah
- Fat-hul Bâri, Daarul Fikr.
- Syarh Shahîh Muslim.
- al-Mufhim Lima Asykala min Talkhîshi Kitâbi Muslim, Syaikh Ahmad bin ‘Umar bin Ibrahim al-Qurthubi, tahqiq Hani al-Hajj , cet. Maktabah Tauqifiyyah.
- Syarhus Sunnah lil Imam al-Baghawi.
- Syarhus Sunnah oleh Imam al-Barbahary, tahqiq Khalid bin Qasim ar-Raddadi, cet. 8.
- ‘Aunul Ma’bû
- Majmû’ Fatâwâ Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah.
- al-Istiqâmah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
- Lisânul ‘Arab, cet. Daar Ihya at-Turats al-‘Arabi.
- Fawâ-idul Fawâ-id, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, tartib Syaikh Ali Hasan.
- Minhâjus Sunnah an-Nabawiyyah, tahqiq Muhammad Rasyad Salim.
- Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah
- Majmû’ Fatâwâ Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz
- Hilyatu Thâlibil ‘Ilmi, cet. V, Daarul ‘Ashimah.
- Limâdza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
- al-Fawâ-id al-‘Asyr min Hadîts Hudzaifah, karya Abu Saif Khalil bin Ibrahim al-‘Ubaidi al-‘Iraqi.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVII/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lisânul ‘Arab (I/213-214).
[2] Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 30, 2545, 6050) dan Muslim (no. 1661).
[3] an-Niyâhah yaitu meratap; menangisi mayyit dengan suara yang keras, yang dilakukan dengan sengaja. (al-Qaulul Mufîd, II/24).
[4] HR. Muslim (no. 934(29)).
[5] Fat-hul Bâri (I/85).
[6] Fat-hul Bâri (XIII/36).
[7] Dalam Syarh Shahîh Muslim (XII/236).
[8] Dalam Syarhus Sunnah (XV/15).
[9] Dalam ‘Aunul Ma’bûd (XI/316).
[10] Limâdza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi (hlm. 7) dengan sedikit perubahan.
[11] Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2697), Muslim (no. 1718 [17, 18]), Abu Dawud (no. 4606), Ibnu Mâjah (no. 14), Ahmad (VI/73, 146, 180, 240, 256, 270), dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anha
[12] Tafsîr Ibni Katsîr (IV/409).
[13] Fawâ-idul Fawâ-id (hlm. 249).
[14] Naqdul Qaumiyyah al-‘Arabiyyah ‘ala Dhau-il Islâm wal Wâqi’ dalam Majmû’ Fatâwâ Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz (I/295-296).
[15] Shahih: HR. Muslim (no. 1847 (52)).
[16] Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 4340, 7257), Muslim (no. 1840), Abu Dâwud (no. 2625), an-Nasâ-i (VII/159-160), Ahmad (I/94), dari Sahabat ‘Ali Radhiyallahu anhu . Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (1/351 no. 181) oleh Syaikh al-Albâni.
[17] Shahih:HR. al-Bukhâri (no. 2955, 7144), Muslim (no. 1839), at-Tirmidzi (no. 1707), Ibnu Mâjah (no. 2864), an-Nasâ-i (VII/160), Ahmad (II/17, 142) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu. Lafazh ini adalah lafazh Muslim.
[18] Shahih:HR. Abu Dâwud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hâkim (I/128), ad-Dârimi(II/241), al-Ajurri dalam asy-Syarî’ah, al-Lâlikai dalam as-Sunnah (I/113 no. 150). Dishahihkan oleh al-Hâkim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur. Dinilai shahih oleh Syaikh al-Albâni. Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 204).
[19] Majmû’ Fatâwâ (XXVIII/487).
[20] HR. al-Bukhâri (no. 3455) dan Muslim (no. 1842).
[21] Lihat SyarhusSunnah (no. 136), oleh Imam al-Barbahari, tahqiq Khalid bin Qasim ar-Raddadi, cet. 8. Atau no. 127, tahqiq‘Abdurrahman bin Ahmad al-Jumaiziy.
[22] Fat-hul Bâri (XIII/126).
[23] Minhâjus Sunnah an-Nabawiyyah (I/115-116), tahqiq DR. Muhammad Rasyad Salim. Ma’shûm artinya terpelihara dari kesalahan. Dan seluruh manusia tidak ada yang ma’shûm kecuali Rasûlullâh n .
[24] al-Mufhim Lima Asykala min Talkhîshi Kitâbi Muslim(IV/44), Syaikh Ahmad bin ‘Umar bin Ibrahim al-Qurthubi, tahqiq Hani al-Hajj , cet. Maktabah Tauqifiyyah.
[25] Fat-hul Bâri (XIII/37).
[26] Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (VI/1/hlm. 546).
[27] HR. Ahmad dalamMusnadnya (IV/126-127), Abu Dâwud (no. 4607) dan ini lafazhnya, at-Tirmidzi (no. 2676), Ibnu Mâjah (no. 42), ad-Dârimi (I/44), Ibnu Hibbân dalam Shahîhnya (no. 5, at-Ta’lîqâtul Hisân dan no. 102, al-Mawârid), al-Hâkim (I/95-96), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 54-59), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205, no. 102), al-Baihaqi dalam Sunannya (X/114), al-Lâlika-i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah (I/ 83, no. 81), dan selain mereka.
[28] Diringkas dari Limâdza Ikhtartu al-Manhajas Salafi (hlm. 26-27), karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
[29] Diringkas dari al-Fawâ-id al-‘Asyr min Hadîts Hudzaifah, karya Abu Saif Khalil bin Ibrahim al-‘Ubaidi al-‘Iraqi.
[30] al-Istiqâmah (I/42).
[31] Hilyatu Thâlibil ‘Ilmi (hlm. 85), cet. V, Daarul ‘Ashimah.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/12790-wajib-bersatu-dengan-jamaah-kaum-muslimin-dan-haram-berpecah-belah.html